Iqra’, Menjadikan Anda Bebas dari Kejahilan!
BAPAK saya yang berusia 60 tahun, adalah seorang perokok berat. Beliau telah menjadi penghisap rokok sejak usia remaja, sehingga merokok nyaris tidak dapat dipisahkan dari kegiatan beliau sehari-hari. Bagi beliau rokok itu memberi manfaat;
karena dengan begitu semangat kerja bertambah, rasa kantuk hilang. Sebaliknya bila tidak ada rokok, maka beliau tidak dapat menunaikan pekerjaannya dengan sempurnya. Begitulah pemahaman dan keyakinan yang beliau pegang bertahun-tahun.
Suatu hari beliau merasa kurang sehat. Badannya meriang, batuk-batuk dan nafas terasa sesak. Biasanya kalau beliau sakit seperti itu obatnya adalah ”Konidin”. Setelah beberapa hari diobati, ternyata sakitnya tidak sembuh juga, malah berambah parah saja. Nafasnya semakin sulit, dan batuknya kini mengeluarkan darah. Keluarga sepakat untuk membawa beliau memeriksakan diri ke dokter. Oleh dokter beliau diminta untuk melakukan rongsen paru-parunya. Dari hasil rongsen maupun pemeriksaan dokter disimpulkan bahwa paru-paru beliau bocor. Penyebabnya adalah kebiasaan merokok yang telah beliau lakukan sejak lama.
Saran dokter, disamping harus dilakukan pengobatan yang intensif, yang tidak kalah pentingnya adalah beliau diminta berhenti merokok. Untuk permintaan yang terakhir ini nampaknya cukup berat untuk dilakukan oleh bapak saya. Tetapi kemudian dokter mengambil gambar paru-paru dan menjelaskan cara kerjanya. Dokter juga menerangkan bagaimana rokok bisa merusak fungsi paru-paru beliau. Dengan sedikit mengancam dokter mengatakan: ”Sekarang mau menderita sakit seperti ini, bahkan akan akan semakin parah lagi atau berhenti merokok?”
Akhirnya beliau sadar dan sejak hari itu, beliau menyatakan kesediaannya untuk menghentikan rokok untuk selamanya.
Dari kasus di atas dapat kita lihat dengan jelas, bagaimana proses kesadaran itu terjadi. Dimulai dari fisik mengalami secara langsung rasa sakit, mata melihat gambar, telinga mendengar penjelasan, akal berfikir, merenungkan dan menimbang-nimabangnya. Sampai akhirnya harus mengambil sebuah keputusan yang tepat.
Maka, sungguh bijaksana apabila Allah memberikan solusi mendasar terhadap problema kehidupan dengan perintah ”iqra’”.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
”Bacalah!, dengan menyebut asma Tuhanmu Yang Menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahuni.” (QS. Al-Alaq 1-5).
Makna perintah ”Iqra”
Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat siatas sebagai berikut:
”Dan sesungguhnya, di antara kemurahan Allah adalah mengajarkan kepada umat manusia sesuatu yang tadinya tidak diketahui. Maka Allah mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah kepada nenek moyang manusia, Adam as, yang membedakannya dari malaikat."
Perintah membaca dalam ayat “Iqra’” tidak disebutkan obyek (maf'ul bih) nya. Dalam kaedah bahasa, hal ini menunjukkan bahwa perintah membaca tidak terbatas pada obyek tertentu, tetapi membaca segala sesuatu dari ayat-ayat Allah; baik yang bersifat qauli maupun yang kauni. Ayat-ayat yang berbentuk ciptaan-Nya (Alladzi khuliqa) ataupun ayat-ayat yang diajarkannya melalui lisan para Nabi-Nya (Alladzi ’allama) dalam wujud Kitab al-Qur’an.
Mengapa perlu membaca?
Membaca disini maksudnya bukanlah mengeja kata-kata. Membaca dalam pengertiannya yang luas mengandung makna: melakukan pengamatan dengan indera, memikirkan dengan akal, mengambil hikmah dengan qalbu serta menerima dan meyakini kebenaran yang difirmankan oleh Allah melalui Nabi-Nya. Jika demikian, amatlah wajar apabila kegiatan membaca menjadi pusat perhatian Allah, sehingga ditempatkan sebagai wahyu pertama yang harus dilakukan oleh Rasulullah dan ummat beliau, karena memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Diantaranya adalah:
Pertama; membaca merupakan fitrah manusia.
Aktifitas membaca dalam pengertian memahami fenomena yang ada di sekelilingnya telah dilakukan oleh manusia sejak detik pertama kelahirannya. Ketika seorang bayi dilahirkan ke dunia, dari rahim ibunya dan menghadapi lingkungan yang baru. Kulitnya merasakan suhu yang berbeda dengan sebelumnya, hidungnya menghirup udara segar, telinganya sayup-sayup mendengar suara-suara, matanya menangkap cahaya dan warna-warni benda di sekitarnya. Sesungguhnya itu semua adalah proses membaca yang dilakukan oleh sang bayi. Aktifitas tersebut akan terus berkembang dan dilakukan sepanjang hidupnya.
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (An-Nahl [16]: 78)
Kedua; membaca menjadikan manusia memahami realitas.
Seseorang yang ditakdirkan lahir dalam keadaan buta misalnya, maka ia tidak akan pernah memahami akan konsep warna. Baginya semua warna adalah sama. Begitupun apabila manusia tidak menggunakan indera, akal fikiran dan hati nuraninya untuk memperoleh kebenaran, maka ia tak akan pernah memahaminya. Dan jika manusia tidak mampu memahami, maka ia tidak lebih baik dari jenis binatang (QS. Al-A’raf [7]: 179)
Ketiga; membaca menjadikan manusia mampu membedakan.
Melalui indera, akal, qalbu dan wahyu, manusia memiliki kemampuan membedakan antara yang benar dengan yang salah (al-haq wa al-bathil), antara yang betul dan yang keliru (al-shawab wa al-khata’), antara yang sejati dengan yang palsu (al-shadiq wa al-kadzib), antara yang baik dengan yang buruk (al-khair wa al-syarr), antara yang baik dan yang busuk (at-thayyib wa al-khobits), antara yang makruf dan yang munkar, antara yang berguna dan yang menimbulkan kerusakan (maa yanfa’ wa maa yadlurru), antara petunjuk dengan kesesatan (al-hudaa wa al-dzalal), dsb.
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
”Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (QS. Al-Anfal [8]: 8)
Keempat; membaca menjadikan mengambil keputusan yang benar.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, maka ia tidak akan dapat mengambil suatu keputusan atau tindakan secara tepat dan benar. Apabila seseorang mengambil tindakan yang didasarkan dari ilmu dan pengetahuan yang salah, maka ia akan mengambil tindakan yang salah pula.
Sedang jika seseorang mengambil suatu tindakan serta keputusan atas sesuatu yang ia tidak memiliki informasi atau pengetahuan yang benar, sesungguhnya keputusan yang ia lakukan adalah spekulasi. Keputusan tersebut bisa salah dan bisa benar. Keputusan yang benar hanya diperoleh dari informasi yang benar pula.
Agar manusia tidak terombang-ambing dalam kehidupan yang spekulatif, maka manusia harus memperoleh informasi yang benar dari sumber yang paling otoritatif akan kebenaran. Dialah Allah dan rasulnya.
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 147). Semoga kita bisa menjadi orang yang mampu "membaca" dan "ber-iqro'. Wallahu a’lam bis-shawab.*/ Ainur Rofiq
Red: Cholis Akbar
membaca bikin kita semakin smart juga
BalasHapus